CERPEN SINGKAT
PERANG INTELEKTUAL DUA KUBU HITAM PUTIH
Steven : ''Apa sih gunanya puisi? Hanya sederet aksara saja! Bukan seperti nuklir yang mampu mengunyah habis daratan bumi.''
Repto : ''Puisi kok dibanding-bandingkan dengan nuklir? Retorika apa ini? Apakah bakso itu sama dengan bola basket meski bentuknya bundar?''
Steven : ''Apa sih hakikat puisi? Pasti tidak lebih daripada komunikasi bukan? Menyedihkan retorikamu!! Pujangga kok hidupnya cuma piawai merangkai aksara?"
Repto : ''Hakikat puisi itu menyampaikan sesuatu yang berasal dari alam perasaan, alam olah pikir yang semuanya bukan sembarangan keluar bagai angin kentut! Intuisi dan imajinasi turut andil di dalamnya, bahkan intuisi dan imajinasi kawin dengan seribu aksara wawasan, seribu rekaman pengalaman yang mewujudkan diri mereja berupa sederet aksara yang penuh estetika. Puisi itu bukan sembarangan keluar bagai angin kentut! Jangan kau remehkan dunia bahasa.''
Steven : ''Saya baru tahu kalau intuisi dan imajinasi itu dapat kawin! Bagaimana caranya kawin? Perspektif macam apa ini? Sungguh dangkal dunia bahasa Indonesia!!! Kalian itu terlalu banyak berteriak secara tulisan!''
Repto : ''Sekarang saya mau tanya, apakah kata-kata "I Love You'' itu hanya untuk ditujukan untuk kekasih? Bagaimana bila mengucapkan kata itu kepada ibumu? Tuhanmu? Apakah tidak boleh? Sama halnya dengan istilah 'kawin'. Tidak selalu, 'kawin' itu untuk binatang, tapi bisa juga digunakan sebagai makna konotasi. Jika menurut perspektifmu bahwa dunia bahasa Indonesia itu dangkal, lalu mengapa kamu mengucapkan bahasa Indonesia? Kenapa bukan bahasa Inggris? Bukankah itu mencirikan dangkalnya pemikiranmu? Lebih baik 'berteriak' secara tulisan, daripada 'berdiam' secara verbal.''
Steven : ''Ya sudahlah...selamat melanjutkan aksara-aksaramu. Semoga bukan sekedar kata-kata yang 'nyaring' secara tulisan saja!"
Repto : ''Lebih baik 'nyaring' secara tulisan, daripada 'berdiam' secara verbal. Setidaknya, aksara-aksara yang keluar dari alam pemikiran itu sudah berkontribusi untuk sesuatu. Bukan diam secara verbal. Segudang rasional itu jangan hanya terpenjara di alam pemikiran, tapi harus 'terbang bebas' menuju langit-langit ekspektasi, memikat sejuta pasang mata serta meninggalkan jejak makna tersirat agar publik belajar mencari tahu. Bukan hanya sekedar membaca atau mendengar. Pro dan kontra, itu urusan belakangan. Setidaknya, dia sudah 'bersuara', meski hanya melalui aksara. Burung Beo saja mampu berbicara, mengapa makhluk yang dianugerahi akal tidak bersuara menyampaikan rasionalnya? Pengetahuannya?''
IDEOLOGI REPTORMASI, 29-5-2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar